Harusnya Kucintai Dia
Secukupnya
/part 1/
Bola api raksasa menghangatkan jalan yang kulewati. Biru langit yang
membuatku iri. Kualihkan pandangan kesebelah kanan. Lagi-lagi semesta
mengejekku. Kuputuskan untuk berhenti sejenak, menikmati hamparan lautan dan
langit yang melakukan konspirasi semesta untuk menertawakanku. Membuat iri. Sial!
Kulangkahkan kaki menyusuri pasir pantai yang memantulkan bayangan hitam
tubuhku. Andai saja bisa, ingin rasanya membiarkan ombak merenggut seluruh rasa
sakit yang mengakar di seluruh penjuru hati. Membiarkan langit menghisap dan
melumpuhkan ingatan, membakarnya hingga lenyap dengan bola api raksasa yang
begitu setianya pada langit.
Sudah lewat dua kali musim penghujan dan tiga kali musim kemarau, namun
perasaan itu masih tertata rapi. Sulit melemparnya keluar dari ingatan.
Sungguh, melupakannya tak semudah menebar senyum palsu. Senyum yang cukup
berhasil membuatku terlihat kuat dari luar. Selangkah demi selangkah kubawa
tubuh menjauh dari pantai. Ah, aku pernah merasa lengkap bersama dua kakinya,
terasa langkahku begitu ringan. Hanya bersama dia, hidup terasa mudah untuk
dijalani. Sayang, sesuatu yang indah itu hanya terdiam di masa lalu. Sesuatu
yang indah itu tak bisa kudapatkan kembali. Mungkin belum.
YYY
“Yang, lihat kesebelah kiri.”
Aku menoleh, seperti permintaannya. "Wahh... Cantik. Kita mampir
bentar yuk."
Dia menuruti permintaanku. Aku dan dia tengah berdiri di bibir pantai.
Kutunjuk cakrawala yang tepat berada di atas kami. "Lihat di atas sana, Yang. Luas, tak terbatas kan?"
Dia hanya mengangguk. Membenarkan. “Iya. Kenapa?”
“Sama seperti rasa sayangku ke kamu. Tak berbatas.”
Dia tersenyum. Simpul. Manis. “Sayang mah
suka gombal. Pasti sudah banyak korbannya.”
Entah mengapa, setiap kalimat yang benar-benar serius kuucapkan selalu
terdengar seperti bualan di telinganya. Padahal sungguh, aku benar-benar
mencintainya. Sangat cinta.
“Aku serius, Sayang.” Kupasang bibir manyun yang selalu bisa membuatnya
menuruti inginku. Berharap dia akan yakin pada perkataanku.
“Iya, Sayang. Aku tahu. Aku pun bisa merasakannya. Thank you for loving
me.”
“Kamu juga sayang aku, kan?” Kuamati wajahnya lekat-lekat. Dia masih
memandang ke atas. Pelan-pelan, langit mulai menampakkan lukisan Tuhan.
“Seharusnya, hal itu tidak pernah kamu tanyakan, Sayang. Jangan ragukan
rasa sayangku ke kamu.”
Kupandangi sorot matanya yang teduh. Iya. Aku hanya akan bertanya satu
kali. Aku pun sudah merasa cukup untuk jawaban yang kudapat. Aku ingin
mempercayainya. Dia menggenggam erat telapak tanganku. Kami berdua melangkah
menjauhi pantai. Dua pasang kaki yang melangkah bersama. Senada. Seirama. Dua
telapak tangan yang saling menggenggam. Erat. Hangat.
to be continued.....
Afriyani (6A)